Accidentally In Love

11.58 / Diposting oleh me, myself and mine / komentar (0)

Jakarta, November 2007

Langit yang cerah di akhir minggu ini tampak kontras dengan suasana hatinya yang seperti terkena badai. Bahkan Mei sudah meramalkan kapan badai tersebut akan datang, namun tetap saja ia tidak mampu menghindar. Badai yang ternyata lebih besar dari perkiraannya.

Hari ini ia rencanakan menghindar. Dengan melihat dunia luar.

Mei sudah mengatur jadwalnya untuk berangkat pagi dari pukul 8 ia harus sudah tiba di terminal Kampung Rambutan dan berencana mengelilingi Jakarta dengan Trans Jakarta seharian penuh atau bahkan besok ia akan kembali melakukan hal yang sama. Yang penting baginya, ia menghirup kesegaran udara luar, meski Jakarta penuh polusi, baginya itu lebih baik untuk dia bisa bernafas saat ini. Dadanya terasa sangat sesak jika ia sendiri.

Sesempurna apapun yang Mei rencanakan, selalu ada yg terlupa atau hal lain yang tidak direncanakan datang. Seperti susunan lagu yang ia putarkan di ipod nya. Terselip sebuah lagu yang kembali menyakiti dirinya. Yang mengingatkan kembali ajakan untuk melupakan kekasihnya secara pelan-pelan.

Kekasihnya, ika, adalah yang penyebab badai yang menghantam hatinya kini. Bukan subjeknya. Lebih tepat kondisi diantara mereka berdua. Perpisahan yang direncakan karena adanya penyatuan dua insan manusia lain, mantan kekasihnya dengan pria lain. Mereka akan menikah hari ini. Pernikahan yang telah lama direncanakan sebelum Mei datang, atau tepatnya dipaksakan.

Kemarin ia telah menghapus segala hal yang berhubungan dengan Ika. Mereka berdua telah menyerah pada takdir. Hari ini mereka kembali menghadapi realita.

Mei juga bukan orang yang benar. Tapi tak sepantasnya disebutnya dia salah. Kehadiran Mei diantara mereka bukanlah direncanakan atau disengaja. Mungkin takdir yang memaksakan. Bukan keinginan atau logika Mei. Mei sudah berusaha bersikap sewajar mungkin. Bahkan terlihat tidak nyata dalam pandangan Ika. Sama seperti pandangan Ika terhadap ratusan papan nama toko yang terletak di Jalan Gadjah Mada, begitu blur. Mei juga tidak ingin melihat Ika, pada niat awalnya.

Ika tidak boleh disalahkan. Ia hanya korban perasaan. Ia hanya menjalani apa yang orang lain rencanakan, yang mungkin tidak pernah ia bayangkan. Sikap patuhnya membuatnya menyimpan rasa sakit dalam hatinya. Bagaimana pun ia tidak terlalu peduli, tetap selalu ia rasakan. Ingin sekali ia teriak-teriak di depan perencana hidupnya. Sayang agama melarangnya, kembali ia mematuhinya. Ia memang bukan budak yang senantiasa mematuhi majikannya, ia hanya bidadari surga yang ingin kembali ke tempat asalnya setelah mati.

Mereka berdua berada dalam garis abu-abu. Jangan salahkan atas sikap mereka. Sungguh pun mereka disalahkan, kita pun bukan hakim yang pantas menghakimi apa yang mereka lakukan. Bagaimana kita bisa menghakim sesuatu yang tidak tampak, sesuatu yang hanya mungkin fantasi mereka. Fantasi yang kebetulan menempatkan mereka dalam ruang dan waktu yang sama. Fantasi yang hanya mereka berdua rasakan. Karena mereka berada dalam sinyal yang sama untuk menempatkan fantasi mereka dalam sebuah rangkaian kebahagiaan yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya, atau pernah, mungkin mereka lupa.

Dalam film (500)Days of Summer, fantasi mereka disebut Love.

Bagaimana ini bisa disebut sebuah kejahatan? Tidak ada barang bukti kejahatan perasaan dalam kasus ini. Tidak ada perebutan kekuasaan atas hati seseorang disini. Kekuasaan perasaan Ika murni miliknya, bukan orang yang berada disampingnya sekarang. Itu pun bukan sebuah kebohongan, pernah kah pria itu menanyakannya, sehingga Ika menjawabnya dengan sebuah kebohongan? Sekiranya yang mereka lakukan dari kemarin itu adalah hubungan formal, seperti sebuah status yang diberikan kerajaan mereka masing-masing.

Mei juga demikian, sedikit pun ia tidak berniat untuk dicintai Ika. Mei tahu, siapa Ika dan pria di sampingnya. Logika dan perasaannya juga tidak pernah menunjukkan adanya tanda-tanda untuk mempunyai perasaan terhadapnya. Logikanya berkata Ika hanya seorang kenalan baru. Perasaannya Mei juga masih milik yang lain. Sayang, Mei tidak mampu menangkap firasat yang diberikan Tuhan malam itu, malam pertemuan dengan Ika. Seseorang yang menciptakan badai yang dasyat pada hari ini.

Akhirnya mereka berdua berkenalan.

Tiga purnama berganti, mereka baru bertemu kembali. Mereka membicarakan kesibukan mereka. Mereka membahas teman-teman mereka. Mereka berbagi cerita tentang hal yang mereka lakukan setiap hari dengan pacarnya masing-masing. Mereka saling menasihati. Mei sering membanggakan pacarnya, Ika malas membahas hubungannya.

Setiap malam mereka berdoa kepada Tuhan. Untungnya Tuhan mereka sama, jadi tak perlu kecanggungan untuk berdoa bersama. Doa mereka setiap malam selalu ingin tidur nyenyak pada malam hari dan bangun dengan perasaan senang di pagi hari.

Dan mereka saling tahu doa mereka selalu terkabul.


Mei akhirnya sendiri. Hubungan dengan pacarnya berakhir. Perlu setengah tahun untuk merenovasi hatinya kembali. Ia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Ika pun sedikit terlupakan. Meski kehilangan, Mei mendapat pekerjaan yang ia inginkan. Semangatnya kembali berdiri.

Mei bertemu Ika lagi. Pertemuan kedua ini juga terjadi begitu saja. Tanpa ada yang direncanakan, karena tempat tinggal mereka berjauhan.

“Kenapa kamu tertawa?” ucap Mei.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin..” balas Mei. Dalam hatinya, Mei juga tidak dapat menjelaskan apa penyebabnya tertawa. Seolah-olah, ia anak bayi yang selalu tersenyum ketika dirinya merasa bahagia.

----*----*-----


Mei mendapati tempat duduk tidak jauh dari supir Trans Jakarta. Entah kenapa hari ini, Trans Jakarta sepi. Sehingga ia dapat melihat orang-orang yang duduk di depannya.

Pikirannya kembali melayang.

Mei dan Ika beberapa kali berjalan-jalan. Kemana saja. Naek Trans Jakarta, Naek kereta api. Tidak peduli kemana, tidak peduli naik apa. Siapa yang peduli. Asal mereka berdua cukup merasa senang jika pergi bersama. Bukankah tempat manapun akan terasa indahnya jika kita bahagia.

Mereka suka berbincang. Bercanda. Mei suka memegang hidung Ika, mungkin ia gemas. Ika suka merapihkan rambut Mei. Mereka suka berfoto. Di berbagai tempat dengan berbagai pose. Seperti dua sahabat yang telah bertahun-tahun bersama.

Ada hal yang paling mereka suka saat menaiki Trans Jakarta atau kereta api. Mereka duduk bersebarangan, mendengarkan lagu dari ipod masing dan saling menatap, menyelusuri setiap jejak jasmani dan batin diri sendiri dan pasangan di depannya. Ritual ini jauh lebih membuat mereka saling mengenal lebih dalam satu sama lain.

Fantasi mereka akhirnya muncul.

Mei mencintai Ika.
Namun bukan seperti manusia modern yang menderita karena ingin dicintai orang lain. Seperti Artis-artis yang rela melakukan apa saja agar banyak orang yang ngefans. Calon pejabat yang rela mengeluarkan banyak uang supaya banyak pendukungnya. Atau pun para wanita yang rela bersakit-sakitan agar badannya menjadi kurus, agar dirinya dicintai orang. Atau cinta seseorang istri yang menghabiskan banyak uang suaminya untuk merias dirinya, berpakaian menarik, yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan karena suaminya melirik wanita lain yang lebih menarik.

Itu karena mereka hanya ingin dicintai, bukan mencintai.

Mei tulus mencintai Ika. Mei tahu suatu saat akan berpisah dengan orang yang dicintainya. Mei tidak merasa menderita akan kecintaannya untuk Ika. Sungguh pun ia merasa sangat berbahagia. Mei menemukan seorang wanita yang tidak hanya menarik dari fisiknya, namun wanita tersebut mampu meredam emosi dan keegoisan Mei. Mana ada wanita itu sebelumnya. Ika adalah wanita yang diinginkan Mei, sekaligus yang ia butuhkan.

Mei bukanlah orang yang banyak bicara, tetapi akan berbeda jika sudah bersama Ika. Perilaku Ika yang selalu bercanda dan tertawa setiap kali mereka bersama, kadang mengganggu orang-orang disekitar mereka, tapi pasti selalu membuat iri pasangan lain, karena tidak bisa sebahagia dan seramai mereka berdua. Mei menemukan kecocokan dan kebanggaan jika melakukan hal-hal bodoh saat bersama Ika, karena itu pasti membuat Ika tertawa lepas. Mei jadi dirinya sendiri, tanpa peduli apa kata orang.

Mereka yang menertawakan cinta Mei adalah orang-orang yang iri akan cinta yang Mei dapatkan dan berikan kepada wanita pilihannya. Orang-orang itu tidak pernah mendapatkan cinta sebesar itu. Mereka adalah orang-orang yang hina karena menertawakan kemurnian cinta Mei untuk Ika.

Mei tau, mungkin cintanya tidak akan berada disampingnya selamanya. Mei menemukan wanita yang ia dambakan yang mungkin ia tidak akan dapatkan. Mei harus siap dengan segala konsekuensinya untuk merelakan Ika dengan orang lain yang menjadi pendampingnya. Mei tidak mau memikirkan hal itu sekarang, yang Mei mau hanya berbahagia dengan Ika sekarang, sampai waktu ketika Ika akan pergi darinya. Biarlah bersedihnya nanti, jika sudah berpisah.

Mei sadar takkan bisa jauh dari Ika. Tapi Mei juga sadar takkan bisa bercanda seterusnya. Menanyakan kabarnya. Menelponnya setiap pagi hanya untuk membangunkannya. Mendengar suaranya yang tidak jelas saat pagi, yang bagi Mei lebih menyenangkan dibanding suara penyanyi mana pun jika mengucapkan hal yang sama. Bermanja dengan Ika seperti layaknya anak kecil. Atau pun berbisik di telpon saat malam hanya untuk bilang, “aku sayang kamu”, dan mendapat balasan “aku juga sayang kamu” supaya tidak terdengar orang rumah. Rutinitas yang tidak akan membosankan bagi Mei.

Begitu juga dengan yang dirasakan Ika, sesering apapun Mei menghubunginya bukanlah hal yang mengganggunya. Mei adalah orang yang mampu membuatnya kembali tertawa ketika merasa sedih ataupun marah dengan Mei. Kadang Ika marah kepada Mei, namun Mei selalu mampu membuat Ika kembali tersenyum. Ika bukanlah wanita yang mudah luluh ketika marah, ia dapat marah lebih besar jika pasangannya berdebat dengannya. Ika juga bukanlah wanita yang suka dimarahi oleh pasangannya, ia akan lebih marah kepada pasangannya. Beda jika dimarahi Mei, ia selalu menurut bahkan merasa jauh lebih bersalah dan bodoh karena tidak bisa meminta maaf dan menghibur Mei.

Ika ingin bersama Mei, seandainya waktu mempertemukan mereka lebih dulu. Mungkin ika akan disampingnya sekarang.


“Apakah kamu mencintai pria itu?” tanya Mei suatu ketika.
“Iya, aku mencintainya” jawab Ika pelan.
“..bolehkah aku berbohong?” lanjut ika.
“boleh..”



Tak ada pria yang lebih tau Ika dibanding Mei.
Takkan ada wanita yang saat ini lebih diinginkan Mei selain Ika.

Mei masih menantikan hari ketika ketika fantasi itu kembali datang dan menang.
Tanpa direncanakan.

----*----*-----


Aku harus berjalan dan berlari ratusan kilo untuk menemuinya
di tempat yang sangat tersembunyi.
Tidak pernah menyangka akan menemuinya disana.

Ia adalah mutiara yang aku temukan dikedalaman.
Mencintainya bukan sesuatu yang direncanakan.
Hanya sebuah takdir dari kuasa Tuhan.

Menemukannya diperlukan perjuangan.
Mendapatkannya hanyalah sebuah angan dan impian,
yang mungkin terwujud atau kembali terlupakan.








Beberapa tahun kemudian…

Sudah 3 hari Mei selalu pulang malam di kantornya yang baru, di Yogyakarta. Hari ini ia dapat pulang lebih sore, karena itu ia ingin sedikit bersenang-senang sendirian dengan mengendarai Mini Cooper barunya. Mei akhirnya mendapati dirinya ingin makan steak di daerah demangan, tepatnya WS Demangan.

Baru saja ia menikmati steaknya. Tepat di depannya duduk seorang wanita yang sangat ia kenal.
Mereka saling menatap. Tersenyum. Kembali hanyut dalam fantasi.




ps :
tx to Nidji (Dosakah Aku n Takkan bisa), yang lagunya begitu menginspirasi..

Label:

page