Mengambil judul yang sama dengan judul buku “Who Will Cry When You Die?” karya Robin Sharma -seorang CEO Sharma Leadership International, sebuah perusahaan jasa yang melayani pelatihan dan coaching-, dan terinspirasi dari salah satu tulisan Beliau dalam bukunya “The Greatness Guide”. Saya bermaksud ingin memberikan sebuah sudut pandang –kalau tidak bisa dikatakan memberikan pelajaran- mengenai hal tersebut.
Kita mungkin sering mengalami perpisahan, baik dengan teman, sahabat, atau orang yang kita sayangi. Saya juga pernah mengalaminya, dua moment yang membuat saya terharu adalah pertama ketika saya harus berpisah dengan sahabat saya karena ia kembali ke kota asalnya, dan kedua adalah ketika saya sendiri harus berpisah dengan para sahabat saya di Jogja, tepatnya tahun yang lalu.
Khusus yang kedua, perasaaan itu bercampur antara bersedih sekaligus sedikit senang. Perasaan sedih tidak perlu djelaskan lagi, tapi untuk perasaan senang, hal itu terjadi karena ternyata masih ada orang-orang yang sayang dengan saya ^_^ dan kita mereka bersedih karena kepergian saya –meskipun di belakang saya, saya tidak tahu apakah mereka benar-benar bersedih atau malah senang karena kepergian saya?? Hehe.. Thank You Guys..
Jarang ada orang-orang yang bersedia ikut bersedih atau paling tidak bersimpati terhadap kesedihan atau hal-hal buruk yang kita alami. Mungkin hanya segelintir orang-orang yang dekat dengan kita saja. Lebih banyak orang-orang yang merasa bahagia dan hadir saat kita bahagia, misalnya saat acara lulusan, ulang tahun apalagi pesta pernikahan kita. Tentunya, mereka akan dengan senang hati akan hadir dalam pesta pernikahan kita, kecuali mantan kita sepertinya. Hehe..
Nah, bagaimana kalau kita meninggal nanti? Jangankan menangis, siapa sajakah orang yang akan bersedia hadir saat kita meninggal nanti? Kita mungkin bisa membayar orang untuk hadir dalam pesta pembukaan restoran kita yang baru atau hajatan perayaan rumah baru, tapi membayar orang untuk hadir saat kita meninggal nanti, apakah mungkin? Apakah mungkin nanti mereka akan benar-benar hadir? Toh, kalau mereka tidak hadir, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa bukan??
Yang ingin saya tegaskan disini adalah perasaan sedih, tangisan dan kesedian kita datang saat hari kematian seseorang alah sesuatu yang datang dari dalam hati, karena Perasaan SAYANG kita dengan orang tersebut. Karena kebaikan orang tersebut yang kita rasakan. Karena senyum sapa untuk kita. Karena mereka menghadirkan kebahagiaan untuk kita. Dan jasa-jasa mereka untuk kemanusiaan maupun kemajuan dan perdamaian dunia selama hidupnya. Dan sangatlah wajar di saat mereka meninggal, kita akan sangat merasa kehilangan yang mendalam.
Contohnya, Alm. Taufik Savalas, saya dengar ribuan orang mendatangi acara penguburannya. Lihat saja sendiri apa yang dia lakukan untuk orang di sekelilingnya dan para penggemarnya saat dia masih hidup, sampai ribuan orang menangis dan bersedia hadir saat dia meninggal. Saat masih hidup, Alm. Taufik Savalas bahkan dengan senang hati memandikan mayat tanpa dibayar sepeser pun. Dia beralasan, untuk tabungannya nanti setelah mati. Kematian Gus Dur bahkan ditangisi hampir seluruh bangsa Indonesia.
Memikirkan kematian menurut Robin Sharma (The Greatness Guide, hal 176) adalah sumber kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingatkan diri bahwa di dalam seluruh skema kehidupan, kita tidak berada dalam dunia ini selamanya-, menjadi cara terbaik untuk mendorong semangat, mengambil resiko, dan masuk lebih dalam ke permainan kehidupan. Memikirkan kematian merupakan praktik brillian untuk menjaga agar kita tetap berfokus pada hal-hal yang paling penting, sebelum semuanya terlambat.
Mungkin berbuat baik terhadap banyak orang dengan harapan banyak orang yang akan menangis saat hati kematian kita bukanlah sebuah perbuatan riya, karena toh saat kita meninggal toh kita gak bisa pamer kebaikan kita, bukan? Dan berharap banyak orang yang menangisi kepergian kita paling tidak jauh lebih baik dibanding mereka berbahagia saat kita tiada, karena perbuatan buruk kita kepada mereka selama kita masih hidup.
Lakukanlah yang terbaik dalam hidup, dalam pekerjaan, target-target dalam hidup, dalam hubungan sesama manusia, dalam kehidupan cinta kita, dalam perbuatan baik dan amal kita, dalam kehidupan beragama, dalam hal apapun. Sebelum kita menyesal, kita belum berbuat sesuatu yang berguna dan berharga selama hidup kita.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW senantiasa berdoa,
“Ya Allah, perbaiki urusan agamaku yang menjadi pelindung urusanku. Perbaiki urusan duniaku yang merupakan tempat kehidupanku. Perbaikilah urusan akhiratku sebagai tempat kembaliku. Dan jadikanlah kehidupan sebagai tambahan kebaikan kepadaku. Serta, jadikanlah kematian sebagai istirahatku dari segala kejelekan.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Abu Nu’aim)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar